Kala dada menggebu

Saat setiap detik pun berarti

Kepala tak kunjung diam

Terus berpikir tanpa henti

Bertanya, bahasa apa lagi yang harus kutunjukkan kali ini?

Pernahkah kamu merasa kehilangan? Bukan, bukan kehilangan yang kita rasakan di saat hari perpisahan sekolah, bukan juga seperti kehilangan barang yang kita cintai. Kehilangan ini mungkin lebih mirip dengan ditinggal pergi oleh teman dekat kita ke kehidupan yang selanjutnya. Tapi entah mengapa kehilangan ini sedikit terasa agak berbeda, karena jika saat ditinggal orang meninggal, orang tersebut sudah benar tidak ada di dunia, tapi kali ini orang tersebut masih ada, hanya saja, menghilang, tak berbekas.

Apa kata yang pantas untuk menggambarkan kehilangan ini? Apakah ini sama dengan kehilangan-kehilangan pada umumnya? Aku tak merasa demikian. Aku lebih setuju jika kehilangan seperti ini disebut dengan, dipaksa merasa kehilangan.

Pernahkah?

Kehilangan memang hal yang biasa. Bahkan banyak pepatah yang mengatakan bahwa semua yang datang akan pergi, tinggal menunggu waktu saja. Tapi kali ini kehilangan itu seperti jauh tak tercium. Bahkan mati dan hari akhir pun diberi peringatan oleh Allah. Tak terbayang jika hari akhir tak pernah diperingatkan oleh Allah, betapa bingungnya orang-orang di padang mahsyar setelah hari kiamat itu, “Apa yang baru saja terjadi?”, “Dimana kita? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”, “Kenapa bumi menjadi seperti ini?”.

Namun tahukah kamu bagian mana yang paling menyakitkan dari hal ini? Karena ketidakpastian yang selalu kita pikirkan setelah itu. Jika kita lihat pada kasus kiamat diatas, mungkin orang-orang juga akan bertanya “Kita ini masih dibumi atau dimana?”, “Jadi bumi baru saja hancur?”, “Ini akhir kehidupan atau ini hanya mimpi sementara?”. Pertanyaan demi pertanyaan akan terus bermunculan, sebab mereka tak pernah tahu atas apa yang terjadi saat itu. Pada satu titik terbitlah rasa cemas. Rasa cemas karena tak tahu apa yang akan terjadi dan sedang terjadi. Tak tahu apa yang harus dilakukan karena takut salah dalam mengambil kesimpulan bahwa ini sudah akhir atau hanya sementara.

Tapi sekali lagi, kita hanya manusia biasa, tak punya hak dan kapasitas untuk menyimpulkan apa yang orang lain rasakan. Kita tak pernah tahu apakah mereka punya pilihan lain selain memaksa kita untuk merasa kehilangan? Atau kehilangan ini hanya sementara, makanya terasa seperti tiba-tiba? Ah sudahlah… Untuk apa juga kita tahu…

Seperti yang dikatakan oleh para tokoh Stoa, fokuslah pada apa yang bisa kita lakukan. Apa dengan mencari kita bisa merasa lebih tenang? Apa dengan cara balik menghilang bisa membuat yang hilang kembali? Atau apa mungkin dengan berserah pada Allah kita merasa lebih tenteram?

Agama juga dapat andil peran penting disini. Dalam Agama Islam, apapun yang terjadi pada kita, hal tersebut pasti ada hubungan dengan kesalahan-kesalahan yang kita perbuat. Ketika kamu ditabrak mobil dari belakang, tampak yang salah ialah pengendara mobil tersebut, namun apakah hal tersebut membebaskan kamu dari memiliki kesalahan yang ikut serta dalam menyebabkan hal itu? Bukankah sesederhana dengan lebih berhati-hati membuat kemungkinan kamu tertabrak bisa jauh lebih kecil?

“whatever of misfortune befalls you, it is because of what your hands have earned…” 42:30

Pada akhirnya, tugas kita sebagai manusia ialah tetaplah fokus pada diri sendiri. Don’t stop instrospecting yourself. Jika pada paham stoa biarkan semesta yang melakukan sisanya, maka pada Agama Islam, kita sudah akrab dengan konsep untuk menyerahkan sisanya pada Allah SWT.

Leave a comment